Thursday 28 April 2016

Wacana Teks Media Massa Pada Isu Kebebasan Berpendapat Dalam Tajuk Rencana Harian Kompas

Wacana Teks Media Massa Pada Isu Kebebasan Berpendapat Dalam Tajuk Rencana Harian Kompas
Sebuah Analisis Wacana Kritis dengan Model Social Change Norman Fairclough Pada Tajuk Rencana Harian Kompas dalam Kasus Prita Mulyasari Tentang Hidup di Era Teknologi Informasi Komunikasi Edisi 4 Juni 2009
David Azteza
1. Latar Belakang
    Akhir-akhir ini, sejumlah wartawan dan warga sipil dituntut di pengadilan karena tuduhan pencemaran nama baik, atau penistaan dan penghinaan, dengan sanksi masuk penjara (pidana) dan denda (perdata). Mereka juga termasuk penulis surat pembaca dan pengguna internet. ”Kewenangan negara untuk mengatur hal tersebut dapat dibenarkan guna menciptakan situasi yang lebih kondusif bagi terpenuhinya hak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan nama baik seseorang,)
    Indonesia dewasa ini, informasi terbuka bebas. Begitu banyak informasi diembuskan tentang suatu kejadian sehingga sulit diperoleh suatu kebenaran, ”Dan kebenaran bukanlah menjadi perkara kebenaran itu sendiri, melainkan berkenaan dengan mayoritas dan kekuasaan.” (Media Indonesia 26/5/8). Ramlan Surbakti (1992) juga menambahkan bahwa kekuasaan merupakan kemampuan mempengaruhi pihak lain untuk berpikir dan berperilaku. Tetapi di negara demokrasi, dimana kekuasaan adalah di tangan rakyat, Indonesia adalah negara demokrasi (lihat: Pembukaan UUD 1945).
    Tiap penggagas demokrasi tahu betul bahwa tugas utama negara adalah menegakkan dan menjamin hak warga negara. Negara dapat menjalankan kekuasaannya tentu atas persetujuan yang diperintah. Persetujuan “kontrak sosial” itu digagas oleh Filosof pertama demokratis John Locke. Dengan tegas Locke menekankan bahwa kemerdekaan adalah hak setiap warga negara.
    Dalam negara demokrasi selain menghargai mayoritas, juga pelaksanaan kekuasaan harus dipertanggungjawabkan dan responsif terhadap aspirasi rakyat. Demokrasi menuntut suatu dasar kesepakatan ideologis suatu keteraturan dan kebebasan sehingga ada sofistifikasi
    Demokrasi mempunyai arti penting bagi masyarakat yang menggunakannya sebab dengan demokrasi, hak masyarakat dapat dijamin. Oleh sebab itu, hampir semua pengertian yang diberikan untuk istilah demokrasi ini selalu memberikan posisi penting bagi rakyat
    Secara yurisdial kebebasan UUD 1945 dalam pasal 28E yang berbunyi: Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Juga Pasal 28F yang berbunyi: Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia (baca: Universal Declaration of Human Rights)
    Terkait kebebasan berpendapat, terakhir yang masih hangat terdengar adalah kasus Prita Mulyasari terhadap RS Omni Internasional Alam Sutera, Tanggerang, ”Dan tentunya saat ini tengah menjadi kajian masalah nasional juga perhatian internasional, bahkan menurut Setara Institue for Democracy and Peace, Hendardi menyatakan kasus tersebut telah mengoyak kemanusian, kebebasan berpendapat, dan menebar ancaman serupa dimasa mendatang” (Kompas 06/06.)
    Menjadi sangat dilematis ketika kebebasan mengeluarkan pendapat yang telah mendapatkan pengakuan dan perlindungan dari Konstitusi ternyata dibatasi oleh Undang-Undang. Kasus ini perlu penngajian yang bijak, karena didalamnya ada kondisi perubahan yang berpotensi untuk berulangnya kasus serupa. Singkatnya pencemaran nama baik di ranah kebebasan berpendapat menunjukan bahwa ada sesuatu kondisi yang bergerak, tidak statis. Perubahan sendiri seperti diketahui pada intinya akan selalu beralih menjadi suatu bentuk yang berbeda dari bentuk sebelumnya, ia bisa menjadi lebih baik atau ia sebaliknya. Perubahan seperti diketahui juga selalu mempunyai ukuran bagi kita untuk memberikan penilaian kepadanya
    Seiring perkembangan waktu, sudah selayaknya ‘perubahan’ menjadi objek layak muat di media massa. Terlebih ketika perubahan tersebut dilahirkan dari Silang pendapat/perselisihan/konflik kamanusiaan yang menyangkut kepentingan Hak Asasi Manusia atas kebebasanya dalam berpendapat. Media dalam menopang tegaknya sistem demokrasi di suatu negara diharapkan sebagai pilar demokrasi yang tidak menyimpang
    Permasalahan pencemaran nama baik di ranah kebebasan berpendapat dalam kasus Prita-Omni tentu banyak memaknai demokrasi itu sendiri. Dan tak usah heran bila perbincangan hangat seputar masalah tersebut terlampau sangat menguras tenaga dan pikiran kita, kenapa tidak, penyelengara negara ini di sibukan dengan uji keampuhan undang undang oleh warganya. UU ITE dianggap oleh beberapa pakar sebagai pencekal jalanya demokrasi, oleh karena itu beberapa media menganggap kondisi sekarang adalah saatnya teknologi informasi dan komunikasi disikapi dengan keterampilan dan kearifan.
    Seperti paragraf pembuka, perselishan serupa terkait kebebasan pendapat atau penistaan dan penghinaan di sejumlah Surat Pembaca dan ’E-mail’ akhirnya semakin ramai diperpincangkan, sebelumnya, Sumber Litbang Kompas mencatat:
    1. 4 Juni 2009 (Surat Pembaca) Khoe Seng Seng dan Kwie Meng Luan alias Wenny dijatuhi hukuman pidana masing-masing 1 tahun penjara oleh PN Jakarta Timur dalam kasus pencemaran nama baik lewat tulisanya di rubrik Surat Pembaca.
    2. 3 Juni 2009 (E-mail) Prita Mulya sari dibebaskan dari tahanan dan bersetatus tahanan kota setelah mendekam selama 20 hari di LP Wanita Tangerang dalam kasus pencemaran nama baik RS Omni Internasional Tangerang melalui tulisan di milis internet. Sidang kasus pidananya sedang berjalan.
    3. 14 Mei 2009 (Surat Pembaca) Fifi Tanang, Ketua Perhimpunan Penghuni Apertemen Mangga Dua Court, Jakarta, divonis hukuman 6 bulan penjara dengan masa percobaan 1 tahun oleh PN Jakarta Selatan dalam kasus pencemaran nama baik PT Duta Pertiwi melalui surat pembaca.
    1. 8 April (Surat Pembaca) PN Jakarta Utara menghukum Pan Esther membayar ganti rugi sebesar Rp 1 miliar kepada PT Duta Pertiwi karena terbukti bersalah mencemarkan nama baik PT Duta Pertiwi lewat tulisan di rubrik surat pembaca. Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menerima permohonan banding dan membatalkan denda 1 miliar.
    2. 16 November 2008 (E-mail) Erick Adriansjah, broker di PT Bahna Securities, ditahan polisi atas dugaan pencemaran nama baik dan penyebaran berita bohong lewat ’E-mail’ yang menyebutkan lima bang mengalami likuiditas.
    3. 14 Juli 2008 (E-mail) Anggota DPR dari PAN, Alvin Lie, melaporkan kasus pencemaran nama baik yang dilakukan oleh Iwan Piliang terhadap dirinya lewat tulisan di milis internet.
    4. 13 Mei 2005 (E-mail) Revrisond Baswir, pengamat ekonomi Universitas Gadjah Mada, dilaporkan ke Mapolda Yogyakarta atas tuduhan mencemarkan nama baik SCTV lewat tulisanya dalam milis internet. Revrisond kemudian meminta maaf kepada SCTV dan SCTV mencabut pengaduanya.
    Dan lucunya! dalam peringatan Hari Kebebasan Pers Dunia, 3 Mei di Doha, Qatar, Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) menyerukan agar negara anggotanya ”menyingkirkan pasal hukum pencemaran nama baik atau penistaan dari undang-undang pidana”. Tetapi, seruan itu tak terdengar lagi di Indonesia 7 hari kemudian jelas
    Perselisihan tersebut bermula ketika Prita dirawat di RS Omni pada 7 Agustus 2008. Prita datang ke Unit Gawat Darurat RS Omni pukul 20.30 dalam keadaan panas. Prita lalu diambil darah dengan tes laboratorium untuk mencapai diagnosa maksimal.
    Pada hari kelima rawat inap, Prita minta keluar dan meminta RS Omni menyerahkan seluruh hasil darah, termasuk tes laboratorium yang pertama kali. Namun, RS Omni tidak memberikan hasil tes yang pertama tersebut. Ada 2 tes laboratarium: yang pertama ’dinyatakan’ jumlah trombosit 27.000/u, lalu tes ke dua 181.000/ul. (Kedua hasil tes lab itulah yang di minta oleh Prita, tetapi pihak Rumah Sakit hanya memberikan hasil yang ke-dua, pihak Rumah Sakit OMNI mengatakan bahwa hasil Tes darah itu hanya 81.000/ul)
    Adanya perbedaan pendapat itulah, semua bermuala. Prita lalu berkeluh kesah dan mengirim e-mail pribadi ke beberapa alamat e-mail teman-temannya. Belakangan e-mail itu menyebar luas di dunia maya. E-mail itu antara lain menceritakan pengalaman Prita yang merasa tidak mendapatkan informasi pasti atas pelayanan medis di RS Omni Internasional. Sabtu, (30/8/08 11:17 WIB) prita melayangkan surat email dengan judul ” ”Penipuan Omni International Hospital Alam Sutera Tangerang” ke 10 temannya.
    Pihak RS Omni merasa nama baiknya rusak dan meminta Prita menarik pernyataannya. Menurut pihak RS Omni pernah meminta Prita menarik pernyataannya yang tertulis dalam e-mail dan beredar di beberapa mailing list. Namun, hal itu tidak dipenuhi Prita. Akibatnya, pihak RS mengajukan tuntutan sesuai dengan hukum yang berlaku.
    Demi membela nama baiknya, selain mengajukan tuntutan hukum, manajemen RS Omni terpaksa membuat surat klarifikasi bantahan melalui dua surat kabar nasional, yaitu Kompas dan Media Indonesia, pada 8 September 2008. Klarifikasi itu secara spesifik menanggapi e-mail Prita yang dikirimkan ke beberapa teman pada 15 Agustus 2008.
    Prita Mulyasari (32) seorang ibu dari dua anak dari Khairan Ananta Nugroho (3) dan Ranarya Puandida Nugroho (1 tahun 3 bulan), ditahan oleh Kejaksaan Negeri Tangerang di Lembaga Permasyarakatan Perempuan Tangerang sejak 13 Mei 2009. merupakan tersangka dalam kasus pencemaran nama baik Rumah Sakit Omni Internasional Alam Sutra, Serpong, Tangerang Selatan, Banten. ia digugat pihak rumah sakit secara perdata dan pidana. Gugatan tersebut dilayangkan pihak rumah sakit setelah Prita berkeluh kesah yang melalui email pribadinya pada 15 Agustus 2008.
    Prita dijerat pasal berlapis, yaitu Pasal 310 KUHP tentang pencemaran nama baik dengan ancaman hukuman 1,4 tahun penjara, Pasal 311 KUHP tentang pencemaran nama baik secara tertulis dengan ancaman 4 tahun penjara, serta Pasal 27 Ayat 3 UU ITE dengan ancaman 6 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar.
    Selanjutnya, pada 11 Mei 2009, Pengadilan Negeri Tangerang memenangkan gugatan RS Omni. Putusan perdata tersebut menyatakan karyawati di sebuah bank swasta di Pluit, Jakarta Utara itu terbukti melakukan perbuatan hukum yang merugikan RS Omni. Hakim memutuskan Prita membayar kerugian materiil sebesar Rp 161 juta sebagai pengganti uang klarifikasi di koran nasional dan Rp 100 juta untuk kerugian imateriil.
    Sebelumnya Prita diadukan oleh Dokter Hengky dan Dokter Grace yang bertugas di Rumah Sakit Omni Sutra, Tangerang, ke Polda Metro Jaya pada 5 September 2008 Prita yang juga didampingi tim kuasa hukumnya dari OC Kaligis and Partner, sempat ditahan selama tiga minggu, suami prita Andri Nugroho mengungkapkan telah dua kali mengajukan penangguhan penahanan, tetapi tidak juga dikabulkan Kejaksaan Negeri Tangerang
    Kasus ini mendapat perhatian luas dari masyarakat madani. Atas desakan berbagai pihak dan dukungan yang terus mengalir (Kasus ini juga menjadi perhatian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Ny Ani Yudhoyono, Jusuf Kalla, Megawati Soekarnoputri bersama Pramono Anung dan Puan Maharani datang langsung menjenguk, Wakil Ketua Dewan Pers Sabam Leo Batubara dan dua anggotanya, Wikrama Iryans Abidin dan Bekti Nugroho, mengunjungi Prita, Kemudian menyusul Yasin Kara, mantan Wakil Ketua Pansus UU ITE yang juga anggota DPR, Blogger, pengguna facebook, dan sebagainya) hari Rabu (3/6/9) Prita Mulyasari dikenakan penangguhan tahanan, dan bisa keluar dari Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang. Setatusnya yang sebagai tahanan kota sebelumnya (11/6) akhirnya bisa bebas setelah majelis hakim Pengadilan Negeri Tangerang yang diketuai Karel Tuffu mengabulkan permohonan penangguhan tahanan kota. Dalam jumpa pers, pihak RS, sampai sekarang masih membuka diri untuk upaya damai.
    Perkara yang menimpa Prita juga mendapat perhatian media-media asing. Situs Straitstimes.com dari Singapura, misalnya, memasang judul ”Charged for E-mail Complaint” dan memajang foto Prita yang tengah berbusana hitam berukuran cukup besar. Berita yang dimuat situs tersebut diambil dari kantor berita Perancis AFP.
    Sebuah situs berita asal Afrika Selatan, yaituhttp://www.news24.com, menulis kasus Prita dengan judul ”E-mail May Lead to Jail”. Sementara, Australian Associated Press (AAP) dalam beritanya mengenai kasus Prita memasang judul ”Indonesian Woman Faces Jail over Email Complaint”. Situs BBC juga tak ketinggalan memberitakan perkara Prita dengan judul ”Indonesia E-mail Case Sparks Fury.”
    Dari kasus Prita, jelaslah kita hidup di era kreasi Teknologi Informasi Komunikasi (TIK) yang konsekuensinya belum sepenuhnya kita ketahui. Yang perkembanganya menuntut kearifan baru. Penulis menyimak kearifan baru harus disertai keterampilan komunikasi yang baik, sejalan dengan peraturan-peraturan yang berkembang di masyarakat. Dari Kasus Prita, Kita juga menyimak, zaman dimana kita hidup penuh dengan perubahan yang dinamis. Kehadiran Internet dan kreasi teknologi informasi komunikasi (TIK), misalnya menghadirkan gaya hidup baru, yang konsekuensinya belum sepenuhnya kita ketahui. Namun jelas perkembangan yang ada menutut kearifan yang baru
    Pemberitaan intensif atas silang pendapat/perselisihan/konflik Prita Mulyasari dengan Omni Internasional Hospital di media massa menjadi sebuah drama baru era informasi teknologi dan elektronik (ITE). Peristiwa ini menjadi sebuah pukulan telak bagi aparat penegak demokrasi di Indonesia (sebelumnya sudah banyak kasus serupa), dalam kasus Prita-Omni dapat direpresentasikan sebagai buruknya kinerja dunia kedokteran kita, kurangnya orintasi kebijakan publik, hingga pembatasan Hak Asasi Manusia, diperparah lagi dengan kondisi hukum yang berpihak.
    Begitu besarnya perhatian mata publik terhadap kasus itu, juga disinyalir sebagai komoditas isu terbaik. Seperti kata Halim Mahfudz, ”Perselisihan ini memang informasi yang mengiurkan untuk di sebar, ’dia’ juga sangat terbuka untuk dibumbui dengan berbagai informasi spekulatif, untuk tetap merasa yang terdepan” (Halim Mahfudz, Pendapat di Koran Tempo 10/6)
    Dalam dunia surat kabar ’dia’ menjadi sebuah wacana (diskurs), ’dia’ berlanjut hidup, ’dia’ bermakna dan dimaknai. Wacana dan pewacanaan teks pada media cetak seperti surat kabar, majalah, dll, seperti diketahui adalah sebuah praktik sosial, ia bukanlah proses tindak alamiah yang ada begitu saja. Ada hubungan dialektis diantara peristiwa diskursif tertentu dengan situasi, institusi, dan struktur sosial yang membentuknya. Wacana dalam pandangan Foucault adalah transaksi kekuasaan. Foucault melihat kekuasaan ada dimana-mana, termasuk teks. Pelaksanaan kekuasaan tidak bisa lepas dari rezim wacana dan setiap wacana mempunyai klaim kebenaran, maka kita harus selalu waspada terhadap perubahan, naik-turun nya wacana.
    Surat kabar sebagai sebuah organisasi memiliki ideologi, visi dan misi yang menentukan kebijakan redaksionalnya. Kebijakan redaksional ini dikembangkan dari visi surat kabar yang bersangkutan. Media massa pada intinya akan selalu terpengaruh akan dominasi (modal, politik, kebudayaan, moral dll) maka, persoalan objektivitas pesan kemudian menjadi hal yang sangat perlu dipertanyakan di tiap pemberitaannya. Apalagi salah satu karakteristik utama berita atau isu itu sendiri adalah pembentukan opini publik.
    Ibnu Hamad dalam konstruksi realitas komunikasi politik dalam media massa menjelaskan pembentukan opini publik ini, media massa umumnya melakukan tiga kegiatan sekaligus. Pertama menggunakan simbol-simbol politik (Language of Politics). Kedua, melaksanakan strategi pengemasan pesan (framing strategies). Ketiga, melakukan fungsi agenda media (agenda setting function).
    Kemudian, tatkala media sedang melakukan tiga tindakan tersebut, boleh jadi sebuah media dipengaruhi oleh kebijakan internal redaksional mengenai suatu kekuatan politik, kepentingan politik pengelola media, relasi media dengan kekuatan politik tertentu, dan faktor eksternal seperti tekanan pasar, sistem politik yang berlaku, dan kekuasaan-kekuasaan luar lainnya, lebih-lebih media massa kita saat ini mengalami apa yang disebut dengan kapitalisasi pasar. Dengan demikian, boleh jadi satu peristiwa politik bisa menimbulkan opini publik yang berbeda-beda tergantung dari cara masing-masing media melaksanakan tiga tindakan tersebut.
    Karenanya, berangkat dari perbedaan-perbedaan tersebut, dalam sebuah pengungkapan realitas, boleh jadi realitas bukanlah yang sebenarnya, melainkan media massa-lah yang menentukan realitas tersebut. Mengingat setiap media bebas memilih bahasa politik dan fakta yang akan dipakai dalam teks yang dibuatnya.
    Seperti yang dijelaskan diatas tersebut, melalui sebuah bahasa-lah media massa mampu menggiring, mengontrol bahkan mengendalikan wacana yang berkembang di masyarakat. Bahasa pasti ditentukan dan diperkuat dengan praktik tertentu, dalam hal ini adalah penulisan terhadap pelaporan (media massa cetak). Praktik penulisan di media massa cetak adalah produk nyata untuk menerangkan membangun suatu tingkat kredibilitas tertentu. Dengan demikian media merupakan sikap. Sikap menurut Jakob Oetama (1987:7) ”Adalah acauan yang hidup sehingga menjadi perangkat yang membuat surat kabar secar konsisten mempunyai kepribadian yang tercermin dalam seluruh isi pesan, bentuk gaya, warna, lantas juga membangun bersama suatu tingkat kredibilitas tertentu.”
    Layaknya pakaian, bahasa dalam media mempunyai bentuk. Bentuk-bentuk tersebut merupakan pendisiplinan kegiatan. Dan kegiatan direpresentasikan sebagai produk. Dalam media produk ini terdiri dari 2 kegiatan, yaitu news, dan views. News adalah tulisan yang berisi fakta (Objektif). Sedangkan views adalah tulisan yang berdasarkan fakta namun mempengaruhi dengan berbagai cara, baik secara implicit melalui berita, maupun secara ekspilist. Tajuk rencana sama dengan editorial dan mereka adalah views. Melalui tajuk rencana, surat kabar ’murni’ menyampaikan pemikirannya dengan cara mengungkapkan, menunjuk atau memberikan arah bukan saja bagi objek pengamatan, tetapi sekaligus juga menerangkan posisi atau sikap surat kabar itu sendiri Mengutip Skripsi dari Maya Retnasary: Representasi Pembatasan Korupsi pada Editorial Media Indonesia, 2008.
    Tajuk rencana pun dapat menjadi sarana kontrol sosial terutama ditunjukan kepada birokrat atau kepada pengambil keputusan pemerintahan lainnya.
    Menurut Assegaf (1985:66) umumnya pada surat kabar tanah air, pemimpin redaksi berfungsi sebagai penulis tajuk rencana (Editorial). Karena itu tajuk rencana surat kabar sering pula merupakan pencerminan watak dari sang pemimpin redaksi. Melalui sebuah tajuk rencana, akan terlihat bahwa pers menjalankan fungsinya sebagai lembaga sosial yang melakukan pengawasan terhadapa pemerintah. Pengawasan yang dilakukan erat kaitannya dengan fungsi perubahan sosial (social change).
    Hal inilah yang akan menjadi penelitian penulis, erat kaitanya dengan perubahan sosial, saya berkeinginan untuk mengetahui bagaimana sosok tajuk rencana media massa (dalam hal ini surat kabar) menggunakan bahasanya pada sebuah pesan dalam membawa gaya dan sikap ideologi tertentu pada pemahaman wacana?
    Sebelumnya alasan penulis memilih tajuk rencana tentang isu pencemaran nama baik di ranah kebebasan berpendapat dalam kasus Prita Mulyasari dengan Omni Internasional Hospital pada Harian Umum Kompas dilandaskan pada hasil studi mandiri penulis terhadap uji literatur disiplin ilmu komunikasi dan survei kliping/arsip di Jaringan Pusat Informasi Kompas. Hasil yang penulis temukan adalah:
    Pemberitaan terkait kasus pencemaran nama baik dalam Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sebelumnya pernah tercetak di harian Kompas pada Tanggal 6 Mei 2009, seperti yang kita ketahui UU ITE tersebut dikukuhkan dan diputuskan Mahkama Konstitusional pada tanggal 5 Mei 2009. (Pasal Pencemaran Nama Baik dalam UU ITE Konstitusional, Kompas)
    Serupa tapi tak sama, di hari Jumat 8 Mei 2009 seorang warga dijatuhi Hukuman pidana (baca: KUHP) terkait kasus pencemaran nama baik. Adalah Fifi Tanang yang di vonis selama 6 bulan penjara dengan masa percobaan 1 tahun terkait menulis Surat Pembaca yang dilayangkannya di surat kabar nasional. (Pengirim Surat Pembaca Harus Berhati-hati, Kompas)
    2 hal kasus tersebut dengan cermat, di cetak oleh Kompas, bahkan salah satu dari berita itu di letakan di halaman ke-dua. Tetapi terkait 2 peristiwa itu, sebelumnya Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) dalam peringatan Hari Kebebasan Pers Dunia, 3 Mei di Doha, Qatar, menyerukan agar negara anggotanya ”Menyingkirkan pasal hukum pencemaran nama baik atau penistaan dari undang-undang pidana”. Tetapi, seruan itu tak terdengar bahkan di kompas sendiri.
    Janggal! Mungkin itu yang pertama dirasakan oleh penulis. laga seakbar UNESCO tak disikapi dengan seksama oleh Kompas dan tentunya timbul suatu pemikiran. Penulis perlu lebih dalam mengkaji makna dan sikap yang ada di dalam keredaksian yang telah lama melintang sejak 28 juni 1965 itu. Penulis setuju dengan pendapat para ahli bahwasanya isu pencemaran nama baik adalah penistaan terhadap hak kebebasan dalam berpendapat, jadi penulis tak dapat memaklumi sikap yang ambil oleh kompas tersebut. Walaupun dengan alasan pertimbangan keberpihakan terhadap porsi liputan dalam negeri, penulis tetap saja beragumentasi pada arah kekecewan. Kenapa tidak? Isu pencemaran nama baik seharusnya dapat dengan baik dan mulia dilontarkan oleh media sekaliber Kompas (Pada tahun 1993 untuk perusahan PT Kompas Media Nusantara diperkirakan menghasilkan 240 miliyar setahun, Gigih Sari Alam, Sejarah Harian Kompas sebagai Pers Partai Katolik), karena seperti yang kita ketahui isu itu menghidupi wacana hak asasi tiap tiap manusia (HAM)
    Berawal dari itu, seperti apa yang dikatakan dosen saya, Haris Sumadiria bahwa ”Surat kabar isinya menyikapi situasi yang berkembang di masyarakat” dan dalam buku beliau Menulis Artikel dan Tajuk Rencana: paduan praktis dikatakan sikap media sejatinya ada di tajuk rencana. Tajuk rencana berisikan opini yang dibuat dewan redaksi, jadi jelas sikap media terwakilkan oleh dewan redaksi di dalam sebuah tajuk rencana.
    Dan kecurigaan terbesar penulis untuk memasuki ranah tajuk rencana Kompas, juga disebabkan oleh:  Bahwa dalam berita yang pernah di muat oleh suratkabar Kompas sejak 2 Januari-12 Juni 2009 terkait nyata kasus perselisihan Prita Mulyasar-Omni Internasional Hospital terdapat sebanyak 18 (Tema) dan semuanya itu tercetak. Penulis menjabarkan ke-18 judul itu ke dalam 2 bentuk berita sesuai dengan karakteristiknya, yaitu News dan Views. Hasil tabulasi pertama yang penulis temukan adalah: 1. di dalam kelompok News terdapat sebanyak 18 judul (Tema) berita. Porsi yang sungguh baik untuk pemberitaan
    Karakter ke 2 adalah Views: Bahwa dalam kelompok Views terdapat 16 tema informasi terkait kasus tersebut, tetapi penulis perlu membagi mereka kedalam karakteristik-karakteristik yang lebih sempit lagi, dan ini sesuai dengan etika yang berlaku.
    Jadi terdapat sebanyak 16 judul penulisan berita terkait kasus perselisihan Prita-Omni. Tetapi 16 tersebut, 8 diantaranya memilik perbeda sifat penulisan (artikel opini) oleh karena itu yang tersisa adalah 8. Dengan tabulasi:
    1. Opini                    :       8 Tulisan
    2. Feature               :       3 Tulisan
    3. Karikatur           :       2 Gambar
    4. Pojok                   :       2 Tulisan
    5. Tajuk Rencana :       1 Tulisan
    18 dari sisi News, dan 16 dari sudut Views (8 diantaranya adalah Opini dari pembaca) Jadi, terdapat 8 Tulisan tercetak dari Harian Kompas. Sebagai penjabaranya:
    Kelompok News (N)   :
    Dalam kelompok News, penulis tidak mengkalkulasikannya secara detail. Jelas ini dikarenakan dua perbedaan sifat dan karakteristik dari ke-dua kelompok tersebut, karena lancang bagi penulis bila menyertakan perhitungan dan bila hasilnya diperbandingkan dengan kelompok Views. Sebagai contoh, untuk mendapatkan perhitungan sederhana ini, kelompok news bisalah kita artikan sebagai sosok laki-laki, dan sebaliknya kelompok Views semisal perempuan. Walaupun keduanya jelas sebagai manusia dan berakal budi, tetapi ada perbedaan mendasar bagi kedua mahkluk tersebut, anggap saja dalam kasus sehari hari. Begitu juga dengan kedua produk jurnalitik itu.
    Bila di kelompok news ditemukan 52,92 % maka dikelompok views menjadi 47,06%. Terbukti bahwasanya kelompok views mengenai berita isu terkait Prita Mulyasari mendapat porsi yang lebih sedit. Buktinya:
    Kelompok Views (V)  :
    Jelas kelompook Views terbagi lagi sesuai dengan karakteristik masing masing, penulis inggin membuktikan dan mencoba objektif dalam pendekatan ini. Kelompok views yang mendapatkan porsi 47,06% itu bainya dibagi menjadi 5 sub kelompok sesuai dengan sifat sifat yang dimilikinya. Tentunya dengan harapan untuk dapat memperjelas dan membandingkan antara tiap tiap berita views itu sendiri yaitu, dengan tujuan mendapatkan hasil yang objektif. Maka sesuai dengan sifatnya kelompok viwes dapat dijabarkan sebagai berikut:
    1. Opini :
    2. Feature :
    3. Ilustrasi :
    4. Pojok :
    5. Tajuk Rencana :
    Dengan hasil itu ditemukan bahwa dalam 47,06% dari porsi Views di harian kompas, hanya sub kelompok Tajuk Rencana-lah yang terkecil mewakili sifatnya: penulis mencoba membandingkannya dengan sub kelompok ilustrasi/pojok saja dapat terlihat hasil yang cukup jauh, terlebih lagi dibandingkan dengan sub kelompok opini? Penulis tentu sepaham dengan pendapat Gerald W. Jonson, Editor Baltimor Sun, “Saya menemukan editorial faktual adalah bacaan suram dalam kertas, tidak mengeluarkan pemberitahuan yang legal” betapa pun pedas keritikan tersebut, baiknya penulis sikapi dengan pendapat dari Josep Pulitzer (Tulisanya yang tercetak di bawah kepala surat kabar St Louise-Dispatch) mengatakan ”…Selalu siap tetap dicurahkan kepada kesejahteraan publik, tak akan pernah puas hanya dengan berita tertulis”
    Bahwa Tajuk Rencana (Editorial) memang bukan kolom yang paling dicari. Meski demikian, posisi editorial tetaplah penting. Bukan semata-mata untuk memenuh- menuhi isi sebuah publikasi. Bukan pula karena publikasi lain (surat kabar, majalah, atau tabloid) menyajikannya (sekadar ikut-ikutan; karena memang sudah seharusnya ada). Tetapi sebuah Tajuk Rencana menghadirkan aspek edukatif dan argumen ilmiah (sekaligus sedikit provokatif dalam arti positif) kepada pembacanya.
    Dan inilah yang inggin penulis raih, apakah tajuk rencana kompas terkait pencemaran nama baik di ranah kebebasan berpendapat (Prita Mulyasari) secerdas fungsinya atau tidak?
    Lebih lanjut, Harian Kompas adalah surat kabar harian yang terhitung paling unggul diantara media cetak lainnya, yang mana Kompas berdiri sebagai surat kabar paling penting dan berpengaruh dalam lingkup nasional (LIPI 2008).
    Selain itu, Kompas juga adalah surat kabar nasional terbesar. Kompas bukan semata surat kabar yang terbit tiap hari, tapi juga menggelindingkan sejumlah isu dan menawarkan diri sebagai wahana diskusi berbagai komponen masyarakat. Banyak studi, dalam dan luar negeri, pernah ditulis Kompas lewat berbagai aspek. Ada yang menulis dimensi humanisme transendental (Menetapkan nilai kemanusiaan sebagai peersatu) yang jadi salah satu ideologi Kompas, misalnya Kees de Jong seorang antrolop dan sosiolog dari Belanda. Ada pula yang menulis soal evolusinya menjadi grup bisnis pers bak gurita. Ada yang menulis secara kritis menurunnya ketajaman tajuk Kompaspada periode Orde Baru, dll. Seorang pakar sejarah dan politik Indonesia Benedict R.O’G Anderson dari Universitas Cornell, yang menulis buku-buku bermutu tentang nasionalisme dan Asia Tenggara, antara lain Java in a time of revolution: occupation and resistance 1944-1946 dan Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism, 1991, memandang peranan Kompas dengan kritis. Anderson menyebut Kompas sebagai ”newspaper par exellence” fersi bahasa ABG adalah: Mantap bro
    1.2 Fokus Kajian Penelitian
    Berdasarkan uraian diatas, fokus kajian penelitian dirumuskan sebagai berikut: Bagaimana Harian Kompas merepresentasikan masalah perselisihan Kasus Prita-Omni, pada Tajuk Rencana edisi 4 Juni 2009 yakni ”Prita dan hidup era TIK.” Sebuah studi Analisis Wacana Kritis dengan pendekatan analisis wacana kritis model Norman Fairclough (social change), berdasarkan catatan dan wawancara sumber informasi yang berkaitan dengan kasus perselisihan Prita Mulyasari dengan Omni Internasional Hospital, dan hubunganya dengan media massa.
    Rumusan masalah: Bagaimana wacana teks media massa secara linguistic (kosakata, semantik dan, konteks kalimat) di Harian Kompas khususnya dalam tajuk rencana berkaitan dengan kasus perselisihan Prita Mulyasari dengan Omni Internasional Hospital.
    1.3 Pertanyaan Penelitian
    1. Bagaimana ideasional, atau representasi bahasa yang ditampilkan teks pada tajuk rencana di harian Kompastentang kasus perselisihan Prita Mulyasari dengan Omni Internasional Hospital pada edisi 4 Juni 2009?
    2. Bagaimana relasi, atau bagaimana bahasa dikonstruksi antara wartawan Kompas dan pembaca khususnya Tajuk rencana harian Kompas pada kasus perselisihan Prita Mulyasari dengan Omni Internasional Hospital pada edisi 4 Juni 2009?
    3. Bagaimana identitas, merujuk pada latar belakang atau konstruksi identitas wartawan dan pembaca digambarkaan dalam teks harian Kompas khususnya tajuk rencana pada kasus perselisihan Prita Mulyasari dengan Omni Internasional Hospital pada edisi 4 Juni 2009?
    1.4 Tujuan Penelitian
    Melalui penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk mengetahui wacana teks media massa (khususnya Harian Kompas) dalam tajuk rencana berkaitan dengan kasus perselisihan Prita Mulyasari dengan Omni Internasional Hospital (Era ITE). Yang bisa dipecah variabelnya sebagai berikut:
    1. Mengetahui ideasional, atau representasi bahasa yang ditampilkan teks pada tajuk rencana di Kompas tentang kasus perselisihan Prita Mulyasari dengan Omni Internasional Hospital pada edisi 4 Juni 2009.
    2. Mengetahui relasi, atau bagaimana bahasa dikonstruksi antara wartawan Kompas dan pembaca khususnya tajuk rencana Kompas pada kasus perselisihan Prita Mulyasari dengan Omni Internasional Hospital pada edisi 4 Juni 2009.
    3. Mengetahui identitas, merujuk pada latar belakang atau konstruksi identitas wartawan dan pembaca digambarkaan dalam teks Kompas khususnya tajuk rencana pada kasus perselisihan Prita Mulyasari dengan Omni Internasional Hospital pada edisi 4 Juni 2009.
    1.5 Ruang Lingkup Penelitian
    Fokus penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana Ruang Lingkup pada wacana teks khususnya tajuk rencana Harian Kompas merepresentasikan kepentingan dalam membenntuk wacana dominan mengenai kasus perselisihan Prita Mulyasari dengan Omni Internasional Hospital dalam hubunganya di era Informasi dan Teknologi Elektronik .
    1.6 Kerangka Pemikiran
    Media merupakan subjek yang mengkonstruksi realitas. Realitas mana yang ditonjolkan dan ditutupi. Menurut Eriyanto (2005:24), ada beberapa tingkatan peran media dalam membentuk realitas. Pertama, Media membingkai peristiwa dalam bingkai tertentu. Peristiwa-peristiwa yang kompleks disederhanakan sehingga membentuk pengertian dan gagasan tertentu. Sebuah peristiwa didefinisikan dengan narasumber, pemilihan kata, urutan peristiwa sehingga menunjukkan pada pembaca bagaimana media tersebut sepakat atau tidak dengan peristiwa yang terjadi.
    Kedua, media memberikan simbol-simbol tertentu pada peristiwa dan aktor yang terlibat dalam berita. Pemberian simbol tersebut akan menentukan bagaimana peristiwa dipahami, siapa yang dilihat sebagai pahlawan dan musuh. Media pun menyeleksi ucapan tertentu dari sumber berita, sehingga khalayak pun menerima citra tertentu akan sebuah peristiwa dan aktornya. Ketiga, Media menentukan apakah peristiwa ditempatkan sebagai hal yang penting ataukah tidak. Panjang pendek berita, pemilihan halaman untuk menempatkan sebuah berita pun dilakukan oleh media.
    Media selain sebagai suatu alat untuk menyampaikan berita, penilaian atau pembentukan citra (gambaran umum) tentang banyak hal, ia mempunyai kemampuan untuk berperan sebagai institusi yang dapat membentuk opini publik. Media pun dapat menghadirkan citra atas representasi dari pemberitaan yang diterbitkan. Media massa memiliki peran yang sangat penting.
    Menurut Ibnu Hamad (Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa) media menghadirkan citra suatu obyek kepada konsumennya melalui suatu proses yang disebut “Konstruksi realitas sosial”. Media ’mengangkat’ obyek tersebut sebagai realitas alamiah (first reality) ke dalam bentuk realitas media (second reality). Citra adalah dunia menurut persepsi kita. Menurut Hamad (2004: 224) Citra terbentuk berdasarkan informasi yang kita terima. Media massa bekerja untuk menyampaikan informasi. Bagi khalayak, informasi itu dapat membentuk, mempertahankan atau meredefinisikan citra.
    Realitas yang kita dapatkan lewat media adalah second hand reality, realitas yang sudah diseleksi melalui proses yang disebutgatekeeping. Media massa, menampilkan sebuah isu dan meninggalkan isu yang lain. Pembaca pun tidak mampu melakukan cek dan ricek, sehingga menerima informasi berdasarkan apa yang dimuat tampilkan oleh media massa. Adapun citra yang terbentuk adalah berdasarkan realitas kedua yang ditampilkan oleh media massa. Dengan demikian seluruh isi media tiada lain adalah realitas yang telah dikonstruksikan (constructed reality) dalam bentuk wacana yang bermakna.
    Menurut Hamad (2004: 12) Dalam proses konstruksi realitas, bahasa adalah unsur utama. Ia merupakan instrumen pokok untuk menceritakan realitas. Bahasa adalah alat konseptualisasi dan alat narasi. Begitu pentingnya bahasa, maka tak ada berita, cerita ataupun ilmu pengetahuan tanpa bahasa. Dalam media massa, keberadaan bahasa tidak lagi sebagai alat semata untuk menggambarkan sebuah realitas, melainkan menentukan gambaran (makna citra) mengenai suatu realitas (realitas media) yang akan muncul di benak khalayak. Terdapat berbagai cara media massa mempengaruhi bahasa dan makna ini: mengembangkan kata-kata baru serta makna asosiatifnya: memperluas makna dari istilah-istilah yang ada, mengganti makna lama sebuah istilah dengan makna baru, memantapkan konvensi makna yang telah ada dalam suatu sistem bahasa. Oleh karena persoalan makna, maka penggunaan bahasa berpengaruh terhadap konstruksi realitas, terlebih atas hasilnya: makna dan citra. Sebabnya ialah, karena bahasa mengandung makna. Penggunaan bahasa tertentu berimplikasi pada bentuk konstruksi realitas dan makna yang dikandungnya. Pilihan kata dan cara penyajian suatu realitas ikut menentukan struktur konstruksi realitas dan makna yang muncul darinya. Dari perspektif ini, bahkan bahasa bukan hanya mampu mencerminkan realitas, tetapi sekaligus dapat menciptakan realitas seperti dalam penampang. (Hamad, 2004:13)
    Giles dan wiemann dalam Hamad (2004:14) mengemukakan bahwa bahasa (teks) mampu menentukan konteks, bukan sebaliknya teks menyesuaikan diri dengan konteks. Dengan begitu, lewat bahasa yang dipakianya (melalui pilihan kata dan cara penyajian) seseorang bisa mempengaruhi orang lain (menunjukkan kekuasaannya). Melalui teks yang dibuatnya, ia dapat memanipulasi konteks. Setiap hari, para pekerja media memanfaatkan bahasa dalam menyajikan berbagai realitas (peristiwa, keadaan, benda) kepada publik. Dengan bahasa secara massif mereka menentukan gambaran beragam realitas ke dalam benak masyarakat, Hamad (2004:16).
    Dalam kaitan dengan media massa maka dikenalah apa yang dinamakanya kegiatan karya jurnalistik. Jurnalistik melalui media massa cetak harus disesuaikan dengan sifat fisik medianya, agar isi pesan tersebut dapat diterima dan dimengerti dengan baik oleh khalayak. Setiap surat kabar memiliki fungsi kontrol sosial, hanya saja dalam pelaksanaan intensitasnya berbeda-beda. Hal ini banyak tergantung pada sistem sosial, politik dan ekonomi, dimana pers itu beroperasi.
    Untuk keperluan kontrol sosial dan kritik maka surat kabar menyediakan tempat khusus yang memungkinkan munculnya opini (pendapat) dalam betuk tulisan dari pihak manapun. Jenis tulisan ini disebut Views; seperti artikel, tajuk rencana (editorial), surat pembaca, pojok dan karikatur. Sehubungan dengan penelitian ini, maka yang akan menjadi fokus pembahasan adalah tajuk rencana atau editorial.
    Dalam setiap surat kabar pada umumnya terdapat satu halaman yang menyediakan untuk opini atau pendapat umum. Pemisahan halaman untuk pendapat atau opini didasarkan pada praktek jurnalistik, yaitu memisahkan fakta dengan opini. Opini adalah tulisan dalam media massa yang memasukkan pendapat penulis di dalamanya (subjektif).
    Dahulu, opini ditempatkan di halaman khusus yang disebut halaman opini. Biasannya di sini dimuat tajuk rencana, surat pembaca, karikatur, pojok, serta artikel opini. Halaman disampingnya, yang biasa disebut halaman op-ed (opposite editorial), diisi dengan pendapat yang bertentangan dengan suara editorial.
    Tajuk rencana adalah suatu bentuk opini yang lazim ditemukan dalam surat kabar, tabloid, atau majalah. Ada yang menyebut tajuk rencana sebagai” Catatan redaksi”, bahasa populernya Editorial. Sebelum ada istilah tajuk rencana, koran- koran kuno menamakan penerbit ini sebagai “induk karangan” yang diterjemahkan dari bahsa Belanda Hoofd Artikel.
    Menurut Dr.Lyle Spencer dalam Editorial Writing yang dikutip dalam Effendy, 2003: 135, mendefinidikan tajuk sebagai berikut: Tajuk rencana adalah penyajian fakta dan opini yang disusun secara ringkas, logis dan menyenangkan untuk menghibur, mempengaruhi opini atau mengiterpretasikan berita penting sedemikian rupa sehingga yang pentingnya itu menjadi jelas bagi rata-rata pembaca (Effendy,2008: 135)
    Berdasarkan pengertian di atas dapat dipahami bahwa tajuk rencana adalah rubik terpenting bagi para jurnalis di sebuah koran harian untuk mempengaruhi opini publik secara langsung, membentuk cara pandang terhadap suatu isu yang berkembang dalam masyarakat, serta mendukung atau menolak kebijakan pemerintah.
    Dan atas dasar media massa yang memiliki kebebasan untuk memilih sikapnya: baik menentang kebijakan pemerintah, mendukung, atau berdiri diantara keduanya (netral/independen), maka diperlukan suatu  meteodologi yang sangat komperensif untuk melihat lebih jauh dalam membongkar ideasional cara pandang media tersebut.
    1.7 Kegunaan Penelitian
    1.7.1 Kegunaan Teoritis
    Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk kepentingan, keperluan akademik mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran sebagai bekal pengetahuan tentang studi mengenai wacana teks media massa secara linguistik (teks, konteks) pada Tajuk Rencana di Harian Kompaskhususnya mengenai isu pencemaran nama baik di ranah kebebasan berpendapat dalam kasus Prita Mulyasari dengan Omni Internasional Hospital pada Harian Kompas
    Penelitian ini juga dimaksudkan dapat berguna sebagai referensi untuk penelitan-penelitian isu sejenis yaitu hal-hal yang berkenaan dengan Konstruksi teks media massa pada isu-isu yang menyangkut mengenai pencemaran nama baik di ranah kebebasan berpendapat dalam kasus Prita Mulyasari dengan Omni Internasional Hospital pada Harian Umum Kompas
    1.7.2 Kegunaan Praktis
    Secara Praktis diharapkan dapat berguna untuk para pembaca sebagai salah satu referensi kajian sebuah Analisisi wacana kritis media massa pada kolom tajuk rencana pendapat Harian Umum Kompas atas isu pencemaran nama baik di ranah kebebasan berpendapat pada kasus Prita Mulyasari dengan Omni Internasional Hospital (baca: Hidup di era TIK). Selain itu ada harapan agar skripsi ini dapat menjadi menjadi bahan refleksi isu-isu terkait dan mampu memberikan pembelajaran kepada kita dan umumnya rekomendasi kepada Kompas.
    1.8 Metode Penelitian
    1.8.1 Pendekatan dan jenis Penelitian
    Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Dalam penelitian kualitatif, untuk menganalisis wacana teks media massa dalam pemberitaan di Surat kabar Kompas khususnya tajuk rencana berita Hatian Kompas pada pemberitaan-pemberitaan mengenai pencemaran nama baik di ranah kebebasan berpendapat dalam penulis menggunakan paradigma atau prespektif Kritis. Sedangkan metode yang penulis gunakan adalah metode Analisis Wacana dengan menggunakan pendekatan analisis Norman Fairclough. Analisis Wacana dibutuhkan karena masalah kebahasaan tidak cukup diselesaikan hanya dengan pendekatan linguistik, tetapi memerlukan pertimbangan-petimbangan non-linguistik, misalnya konteks percakapan, tindak tutur, prinsip intaeraksi lokal, prinsip analogi, dan sebagainya (Arifin, 2000). Selanjutnya, Menurut Stubbs (Arifin, 2000:8), Analisis wacana merupakan suatu kajian yang meneliti atau menganalisis bahasa yang digunakan secara ilmiah, baik dalam tulisan maupun lisan.
    Analisis adalah sebuah upaya atau proses (penguraian) untuk memberi penjelasan dari sebuah teks (realitas sosial) yang akan atau sedang dikaji oleh seseorang atau kelompok dominan yang kecenderungannya mempunyai tujuan tertentu untuk memperoleh apa yang di inginkan. Artinya dalam sebuah konteks kita juga harus menyadari akan adanya kepentingan, Oleh karena itu analisis yang terbentuk nantinya telah kita sadari telah dipengaruhi oleh si penulis dari berbagai faktor, kita dapat mengatakan bahwa di balik wacana itu terdapat makna dan citra yang diinginkan serta kepentingan yang sedang diperjuangkan.
    Wacana adalah proses pengembangan dari komunikasi, yang menggunakan simbol-simbol, yang berkaitan dengan interpretasi dan peristiwa-peristiwa, di dalam sistem kemasyarakatan yang luas. Melalui pendekatan wacana pesan-pesan komunikasi, seperti kata-kata, tulisan, gambar-gambar, dan lain-lain, kesemuanya itu dapat berupa nilai-nilai, ideologi, emosi, kepentingan-kepentingan, dan lain-lain.
    Jadi, analisis wacana yang dimaksudkan dalam sebuah penelitian, adalah sebagai upaya pengungkapan maksud tersembunyi dari subyek (penulis) yang mengemukakan suatu pernyataan. Pengungkapan dilakukan dengan menempatkan diri pada posisi sang penulis dengan mengikuti struktur makna dari sang penulis sehingga bentuk distribusi dan produksi ideologi yang disamarkan dalam wacana dapat di ketahui. Jadi, wacana dilihat dari bentuk hubungan kekuasaan terutama dalam pembentukan subyek dan berbagai tindakan representasi.
    Pemahaman mendasar ananlisis wacana adalah wacana tidak dipahami semata-mata sebagai obyek studi bahasa. Bahasa tentu digunakan untuk menganalisis teks. Bahasa tidak dipandang dalam pengertian linguistik tradisional saja. Bahasa dalam analisis wacana kritis selain pada teks juga pada konteks bahasa sebagai alat yang dipakai untuk tujuan dan praktik tertentu termasuk praktik ideologi.
    Sementara dalam lapangan politik, analisis wacana adalah praktik pemakaian bahasa, terutama politik bahasa. Karena bahasa adalah aspek sentral dari penggambaran suatu subyek, dan lewat bahasa ideologi terserap di dalamnya, maka aspek inilah yang dipelajari dalam analisis wacana
    Dalam pelaksanaannya, analisis wacana untuk ilmu komunikasi ditempatkan sebagai bagian dari metode penelitian sosial dengan pendekatan kualitatif. Sebagaimana dimaklumi dalam penelitian sosial, setiap permasalahan penelitian selalu ditinjau dari perspektif teori sosial (dalam hal ini teori-teori komunikasi). Analisis wacana sebagai metode penelitian sosial tidak hanya mempersoalkan bahasa (wacana) melainkan pula dikaitkan dengan problematika sosial.
    Lebih dari itu, sebagai bagian dari metode penelitian sosial dengan pendekatan kualitatif, analisisis wacana ini juga mamakai paradigma penelitian. Dengan demikian proses penelitiannya tidak hanya berusaha memahami makna yang teradapat dalam sebuah naskah, melainkan acapkali menggali apa yang terdapat di balik naskah menurut paradigma penelitian yang dipergunakan.
    Aplikasi analisis wacana dimulai dengan pemilihan naskah (text, talk, act, and artifact) dalam suatu bidang masalah sosial, misalnya naskah (Tajuk Rencana) tentang hukum dan politik. Selanjutnya kita memilih tiga perangkat analisis wacana yang saling berkaita: perpektif teori, paradigma penelitian, dan metode analisis wacana itu sendiri. Dari penerapan ketiga perangkat tadi secara simultan terhadap naskah yang dipilih akan diperoleh hasil penelitian analisis wacana.
    Untuk perspektif teori, dalam analisis wacana sebagai metode penelitian sosial lazimnya memakai dua jenis teori: teori substantif dan teori wacana. Lebih lanjut, Fairclough dan Wodak berpendapat bahwa analisis wacana adalah bagaimana bahasa menyebabkan kelompok sosial yang ada bertarung dan mengajukan ideologinya masing-masing. Berikut disajikan karakteristik penting dari analisis kritis menurut:
    1. Tindakan. Wacana dapat dipahami sebagai tindakan (actions) yaitu mengasosiasikan wacana sebagai bentuk interaksi. Selain itu wacana dipahami sebagai sesuatu yang di ekspresikan secara sadar, terkontrol bukan sesuatu di luar kendali atau diekspresikan secara sadar.
    2. Konteks. Analisis wacana mempertimbangkan konteks dari wacana seperti latar, situasi, peristiwa dan kondisi.
    3. Historis, menempatkan wacana dalam konteks sosial tertentu dan tidak dapat dimengerti tanpa menyertakan konteks.
    4. Kekuasaan. Analisis wacana mempertimbangkan elemen kekuasaan. Konsep kekuasaan yang dimaksudkan adalah salah satu kunci hubungan anatara wacana dan masyarakat.
    5. Ideologi adalah salah satu konsep sentral dalam analisis wacana kritis karena setiap bentuk teks, percakapan dan sebaginya adalah paraktik ideologi atau pancaran ideologi tertentu.
    Fairclough berpendapat bahwa analisis wacana kritis adalah bagaimana bahasa menyebabkan kelompok sosial yang ada bertarung dan mengajukan ideologinya masing-masing. Konsep ini mengasumsikan dengan melihat praktik wacana bias jadi menampilkan efek sebuah kepercayaan (ideologis) artinya wacana dapat memproduksi hubungan kekuasaan yang tidak imbang antara kelas sosial, laki-laki dan wanita, kelompok mayoritas dan minoritas dimana perbedaan itu direpresentasikan dalam praktik sosial. Analisis Wacana melihat pemakaian bahasa tutur dan tulisan sebagai praktik sosial. Praktik sosial dalam analisis wacana dipandang menyebabkan hubungan yang saling berkaitan antara peristiwa yang bersifat melepaskan diri dari sebuah realitas, dan struktur sosial.
    Dalam hal ini dari penjelasan Norman Fairclough dapat ditarik kesimpulannya bahwasanya dalam analisis wacana seorang peneliti atau penulis melihat teks sebagai hal yang memiliki konteks baik berdasarkan “process of production” atau “text production” “process of interpretation” atau “text consumption” maupun berdasarkan praktik sosio-kultural. Dengan demikian, untuk memahami wacana (naskah/teks) kita tak dapat melepaskan dari konteksnya. Untuk menemukan ”realitas” di balik teks kita memerlukan penelusuran atas konteks produksi teks, konsumsi teks, dan aspek sosial budaya yang mempengaruhi pembuatan teks. Dikarenakan dalam sebuah teks tidak lepas akan kepentingan yang yang bersifat subjektif.
    Didalam sebuah teks juga dibutuhkan penekanannya pada makna (Meaning) (lebih jauhdari interpretasi dengan kemampuan integrative, yaitu inderawi, daya pikir dan akal budi) Artinya: Setelah kita mendapat sebuah teks yang telah ada dan kita juga telah mendapat sebuah gambarang tentang teori yang akan dipakai untuk membedah masalah, maka kita langkah selanjutnya adalah kita memadukann kedua hal tersebut menjadi kesatuan yaitu dengan adanya teks tersebut kita memakai sebuah teori untuk membedahnya.
    Kemudian Norman fairclough mengklasifikasikan sebuah makna dalam analisis wacana sebagai berikut:
    1. Translation (mengemukakan subtansi yang sama dengan media). Artinya: . Pada dasarnya teks media massa bukan realitas yang bebas nilai. Pada titik kesadaran pokok manusia, teks selalu memuat kepentingan. Teks pada prinsipnya telah diambil sebagai realitas yang memihak. Tentu saja teks dimanfaatkan untuk memenangkan pertarungan idea, kepentingan atau ideologi tertentu kelas tertentu. Sedangkan sebagai seorang peneliti memulainya dengan membuat sampel yang sistematis dari isi media dalam berbagai kategori berdasarkan tujuan penelitian.
    2. Interpreatation (berpegang pada materi yang ada, dicari latar belakang, konteks agar dapat dikemukakan konsep yang lebih jelas) Artinya: Kita fokus terhadap satu pokok permasalahan supaya dalam menafsirkan sebuah teks tersebut kita bisa mendapat latar belakang dari masalah tersebut sehingga kemudian kita bisa menentukan sebuah konsep rumusan masalah untuk membedah masalah tersebut.
    3. Ekstrapolasi (menekankan pada daya pikir untuk menangkap hal dibalik yang tersajikan). Artinya: kita harus memakai sebuah teori untuk bisa menganalisis masalah tersebut, karena degnan teori tersebut kita bisa dengan mudah menentukan isi dari teks yang ada
    4. Meaning (lebih jauh dari interpretasi dengan kemampuan integrative, yaitu inderawi, daya pikir dan akal budi) Artinya: Setelah kita mendapat sebuah teks yang telah ada dan kita juga telah mendapat sebuah gambarang tentang teori yang akan dipakai untuk membedah masalah, maka kita langkah selanjutnya adalah kita memadukann kedua hal tersebut menjadi kesatuan yaitu dengan adanya teks tersebut kita memakai sebuah teori untuk membedahnya.
    Dan menurutnya dalam analisis wacana Norman Fairclough juga memberika tingkatan, seperti sebagai berikut:
    1. Analisis Mikrostruktur (Proses produksi): menganalisis teks dengan cermat dan focus supay dapat memperoleh data yang dapat menggambarkan representasi teks. Dan juga secara detail aspek yang dikejar dalam tingkat analisis ini adalah garis besar atau isi teks, lokasi, sikap dan tindakan tokoh tersebut dan seterusnya.
    2. Analisis Mesostruktur (Proses interpretasi): terfokus pada dua aspek yaitu produksi teks dan konsumsi teks.
    3. Analisis Makrostruktur (Proses wacana): terfokus pada fenomena dimana teks dibuat,
    Dengan demikian, menurut Norman Fairclough untuk memahami wacana (naskah/teks) kita tak dapat melepaskan dari konteksnya. Untuk menemukan ”realitas” di balik teks kita memerlukan penelusuran atas konteks produksi teks, konsumsi teks, dan aspek sosial budaya yang mempengaruhi pembuatan teks.
    Setelah dibaca, dipelajari, dan ditelaah maka langkah berikutnya adalah mengadakan reduksi data dengan jalan membuat abstraksi. Abstraksi merupakan usaha membuat rangkuman yang inti, proses dan pernyataan-pernyataan yang perlu dijaga sehingga tetap berada di dalamnya. Langkah selanjutnya adalah menyusun dalam satuan-satuan dan kategorisasi dan langkah terakhir adalah menafsirkan dan atau memberikan makna terhadap data.
    1.8.2 Penentuan Data dan Sumber Data
    Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka, analisis berita, kolom tajuk rencana terkait isu pencemaran nama baik dalam dunia demokrasi dalam era TIK di Harian Kompas edisi Mei-Juni 2009 dan khususnya edisi 4 Juni 2009. Observasi Langsung juga akan dilakukan dengan mewawancarai Penulis, Wartawan Senior ataupun Redaktur divisi pemberitaan di Harian Kompas
    1.8.3 Teknik Pengumpulan Data
    Pertama-tama data tajuk rencana, dan apapun yang membahas masalah perselisihan kasus Prita Mulyasari dengan RS Omni Internasional. Lalu penafsiran akan dianalisis menggunakan metode Analisis Wacana kritis. (Aplikasi analisis wacana dimulai dengan pemilihan naskah (text, talk, act, and artifact) dalam bidang masalah sosial (Tajuk Rencana). Selanjutnya kita memilih tiga perangkat analisis wacana yang saling berkaita: perpektif teori, paradigma penelitian, dan metode analisis wacana itu sendiri. Dari penerapan ketiga perangkat tadi secara simultan terhadap naskah yang dipilih akan diperoleh hasil penelitian analisis wacana)
    TingkatanMetode
    TeksCritical linguistics (bentuk dan makna)
    Discourse practice news roomWawancara mendalam (produksi dan konsumsi teks)
    Sociocultural practice sejarahStudi pustaka, penelusuran
    1. Teks. Analisis teks menurut Fairclough (1995b) memperhatikan dua hal yang tidak dapat dipisahkan, yaitu bentuk dan makna teks. Bentuk teks selain meliputi analisis linguistik tradisional seperti semantik dan kosakata, juga meliputi analisis penyusunan tekstual termasuk keterkaitan antar teks.
    1. Praktek Diskursus. Praktek diskursus (Fairclough,1995b) dalam analisis diskursus memiliki dua aspek, yaitu produksi teks dan konsumsi teks. Praktek diskursus berfungsi untuk menjembatani antar teks dan praktek sosial budaya.
    2. Praktek Sosial Budaya. Analisis dimensi praktek sosial budaya (Fairclough,1995b) dari peristiwa komunikasi memiliki tingkat abstraksi yang berbeda dari setiap peristiwa, dapat meliputi konteks situasional yang lebih dekat, konteks yang lebih luas dari praktek institusional yang terdapat dalam peristiwa komunikasi ataupun kerangka yang lebih luas dari masyarakat budaya (sosial).
    1.9 Jadwal Penelitian
    Penelitian akan penulis lakukan selama bulan Juni 2009 sampai dengan… di …
    maaf catatan kaki dalam tulisan ini tak di tampilkan…
    ………………………………………………………………………………………………..oOo…………………………………………………………………………………………………………………..
    DAFTAR PUSTAKA
    Assegaf, Dja’far. 1985. Jurnalistik Masa Kini. Ghalia. Jakarta
    Effendy, Onong Uchjana. 1989. Dimensi- Dimensi Komunikasi.Alumni. Bandung
    Eriyanto. 2001. Analisis Wacana. LKiS. Yogyakarta
    Hamad, Ibnu, 2004. Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa: Sebuah Studi Critical Duiscourse  Analysis Terhadap Berita Berita Politik, Granit. Jakarta
    Kees de Jong. 1990. Kompas 1965-1985: Harian Untuk Umum Berlatar Belakang Katolik Dan Peranannya Dalam Masyarakat Indonesia, Disertasi, Jakarta
    Lubis, Hamid Hasan. 1991. Analisis Wacana Pragmatik. Penerbit Angkasa. Bandung
    Oetama, Jacob. 1987. Perspektif Pers Indonesia. LP3ES
    Rakhmat, Jalaludin. 1999. Psikologi Komunikasi. Remaja Rosdakarya. Bandung
    Malik, Dedy Djamaludin (ed). 1994. Editorial. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung
    Sumadiria, AS Haris. 2004. Menulis Artikel dan Tajuk Rencana.PT. Remaja Rosdakarya. Bandung
    Syamsudin dan Palapah.1983Studi Ilmu Komunikasi.PT. Remaja Rosdakarya. Bandung
    Sobur, Alex. 2001. Analisis Teks Media. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung
    Artikel dan lain-lain
    Kebebasan Mengeluarkan Pendapat di Muka Umum, Heady Anggoro Mukti
    Halim Mahfudz, dalam Pendapat di Koran Tempo edisi 10 Juni 2006
    Gigih Sari Alam, Sejarah Harian Kompas sebagai Pers Partai Katolik 2001
    R.O’G Anderson dari Universitas Cornell: Java in a time of revolution: occupation and resistance 1944-1946 dan Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalis,1991
    Maya Retnasary: Skripsi: Representasi Pembatasan Korupsi pada Editorial Media Indonesia, 2008
    SUMBER : KLIK SINI

    No comments:

    Post a Comment